Sebagian besar masyarakat mengetahui kalau souvenir khas Malang adalah topeng, tari khas Malang adalah tari topeng. Bahkan di setiap acara yang berhubungan dengan Malang baik di Malang maupun di seluruh Indonesia, semua sepakat, topeng Malang adalah satu-satunya jawaban perwakilan budaya Malang. Sebelum semua bersuara topeng Malang harus dilestarikan, diselamatkan bahkan dikembangkan, ada baiknya mencoba untuk mengetahui terlebih dahulu apa, siapa, dan bagaimana topeng Malang itu.
Wayang topeng Malang mempunyai ciri khas di bidang kesenirupaan, tata busana, iringan musik gamelan, dan cerita yang dimainkan (Supriyanto, 2004:12). Cerita topeng Malang yang digunakan penari, pengukir, dan Ki Dalang topeng Malang bersumber pada ragam sastra lisan cerita Panji yang ruang, waktu, dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah pada zaman Singhasari, Kediri, Daha, dan Tanah Seberang Jawa (Tanah Sabrang) zaman Prabu Airlangga (1019-1041M) dan Prabu Jayabaya (1130-1157M).
Perkembangan topeng di Malang menurut beberapa sumber berawal sekitar tahun 1898, saat Kabupaten Malang dipimpin oleh Raden Bagoes Mohamad Sarib yang bergelar Raden Adipati Ario Soerio Adiningrat Ridder der officer oranje Nassau, terdapat dua orang dalam satu perguruan topeng yaitu Mbah Reni (Polowijen) dan Mbah Gurawan (Sumber Pucung). Tjondro/Mbah Reni adalah abdi dalem Kabupaten Malang yang dikenal sebagai dalang, penari, dan pengrajin topeng. Semasa beliau, grup topeng yang terkenal berasal dari Pucangsanga Kawedanan Tumpang dan beberapa kumpulan wayang topeng seperti, Mbah Tirtowinoto (Jabung), Mbah Rusman dan Mbah Sapuadi (Precet), desa Wangkal, Glagah Dowo, Gubug Klakah, Dhuwet, Dhumpul, Jabung, Senggreng, Kademangan, yang selanjutnya diteruskan oleh Rakhim, Rasimun, Gimun dan Djakimin (Supriyanto-Adi Pramono, 1997). Sedangkan Mbah Gurawan mempunyai murid Mbah Marwan, buyut dari Mbah Karimun, cikal bakal topeng di Kedung Monggo, Pakisaji Kabupaten Malang.
Mbah Karimun pada waktu kecil bernama Paryo, karena sering sakit-sakitan diganti menjadi Karimun. Lahir tahun 1910. Orang tuanya, Bapak Kimun dari Ponorogo dan Ibu Jamik dari Bangil, Pasuruan tinggal di desa Bangelan Pakis. Topeng Kedung Monggo sendiri berasal dari kakek Mbah Karimun yang bernama Ki Serun, warok asli Ponorogo yang terpaksa mengungsi ke Malang karena dikejar tentara Belanda. Mulai tahun 1933 mendirikan sanggar bernama Sanggar Pendowo Limo, tahun 1978 berganti nama sanggar Asmoro Bangun yang berarti Cinta Kebaikan. Sejak saat itu Mbah Karimun mengajar di berbagai sanggar, antara lain di desa Genengan, Kaseran, Sutojayan, Wonokerto, Palakan, Plaosan, Kranggan, Nglowok dan Ngajum (Karimun, 2000-2007). Lakon induk yang sangat populer adalah lakon ‘Rabine Panji’, lakon ini mengisahkan perkawinan Panji Reni dengan tokoh utama Panji Inukertapati, Dewi Anggraeni, dan Dewi Sekartaji. Jumlah topeng Malang yang asli adalah 6 buah, yaitu Klono, Bapang, Panji, Sekartaji, Gunungsari, dan Ragil Kuning. Enam atau Nem berarti nemen olehe ngudi berkembang menjadi 40, selanjutnya 140 jenis.
Ragam hias pada topeng Malang, antara lain: ragam hias Urna (pada bagian kening), ragam hias Dahi (menunjukkan sifat kebangsawanan, seperti Melati, Kantil, dan Teratai), dan ragam hias Jamang (Irah-irahan, tutup kepala). Warna pada topeng menunjukkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Warna putih menggambarkan jujur, suci, dan berbudi luhur. Warna kuning menggambarkan kemuliaan.Warna hijau menggambarkan watak satria dan warna merah untuk raksasa menggambarkan angkara murka. Pembukaan wayang topeng khusus di Tumpang menggunakan tari pembuka Beskalan atau Srimpi Limo.Aneka ragam budaya mulai dari tarian, bahasa, dan adat istiadat di negara kita Indonesia tercinta harus terus kita jaga dan lestarikan, terutama generasi muda penerus bangsa. Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikannya, lalu siapa lagi.
Sumber: Dwi Cahyono, Malang Telusuri dengan Hati, hal 90-91
Wayang topeng Malang mempunyai ciri khas di bidang kesenirupaan, tata busana, iringan musik gamelan, dan cerita yang dimainkan (Supriyanto, 2004:12). Cerita topeng Malang yang digunakan penari, pengukir, dan Ki Dalang topeng Malang bersumber pada ragam sastra lisan cerita Panji yang ruang, waktu, dan suasananya mengacu pada peristiwa sejarah pada zaman Singhasari, Kediri, Daha, dan Tanah Seberang Jawa (Tanah Sabrang) zaman Prabu Airlangga (1019-1041M) dan Prabu Jayabaya (1130-1157M).
Perkembangan topeng di Malang menurut beberapa sumber berawal sekitar tahun 1898, saat Kabupaten Malang dipimpin oleh Raden Bagoes Mohamad Sarib yang bergelar Raden Adipati Ario Soerio Adiningrat Ridder der officer oranje Nassau, terdapat dua orang dalam satu perguruan topeng yaitu Mbah Reni (Polowijen) dan Mbah Gurawan (Sumber Pucung). Tjondro/Mbah Reni adalah abdi dalem Kabupaten Malang yang dikenal sebagai dalang, penari, dan pengrajin topeng. Semasa beliau, grup topeng yang terkenal berasal dari Pucangsanga Kawedanan Tumpang dan beberapa kumpulan wayang topeng seperti, Mbah Tirtowinoto (Jabung), Mbah Rusman dan Mbah Sapuadi (Precet), desa Wangkal, Glagah Dowo, Gubug Klakah, Dhuwet, Dhumpul, Jabung, Senggreng, Kademangan, yang selanjutnya diteruskan oleh Rakhim, Rasimun, Gimun dan Djakimin (Supriyanto-Adi Pramono, 1997). Sedangkan Mbah Gurawan mempunyai murid Mbah Marwan, buyut dari Mbah Karimun, cikal bakal topeng di Kedung Monggo, Pakisaji Kabupaten Malang.
Mbah Karimun pada waktu kecil bernama Paryo, karena sering sakit-sakitan diganti menjadi Karimun. Lahir tahun 1910. Orang tuanya, Bapak Kimun dari Ponorogo dan Ibu Jamik dari Bangil, Pasuruan tinggal di desa Bangelan Pakis. Topeng Kedung Monggo sendiri berasal dari kakek Mbah Karimun yang bernama Ki Serun, warok asli Ponorogo yang terpaksa mengungsi ke Malang karena dikejar tentara Belanda. Mulai tahun 1933 mendirikan sanggar bernama Sanggar Pendowo Limo, tahun 1978 berganti nama sanggar Asmoro Bangun yang berarti Cinta Kebaikan. Sejak saat itu Mbah Karimun mengajar di berbagai sanggar, antara lain di desa Genengan, Kaseran, Sutojayan, Wonokerto, Palakan, Plaosan, Kranggan, Nglowok dan Ngajum (Karimun, 2000-2007). Lakon induk yang sangat populer adalah lakon ‘Rabine Panji’, lakon ini mengisahkan perkawinan Panji Reni dengan tokoh utama Panji Inukertapati, Dewi Anggraeni, dan Dewi Sekartaji. Jumlah topeng Malang yang asli adalah 6 buah, yaitu Klono, Bapang, Panji, Sekartaji, Gunungsari, dan Ragil Kuning. Enam atau Nem berarti nemen olehe ngudi berkembang menjadi 40, selanjutnya 140 jenis.
Ragam hias pada topeng Malang, antara lain: ragam hias Urna (pada bagian kening), ragam hias Dahi (menunjukkan sifat kebangsawanan, seperti Melati, Kantil, dan Teratai), dan ragam hias Jamang (Irah-irahan, tutup kepala). Warna pada topeng menunjukkan karakter tokoh dalam dunia pewayangan. Warna putih menggambarkan jujur, suci, dan berbudi luhur. Warna kuning menggambarkan kemuliaan.Warna hijau menggambarkan watak satria dan warna merah untuk raksasa menggambarkan angkara murka. Pembukaan wayang topeng khusus di Tumpang menggunakan tari pembuka Beskalan atau Srimpi Limo.Aneka ragam budaya mulai dari tarian, bahasa, dan adat istiadat di negara kita Indonesia tercinta harus terus kita jaga dan lestarikan, terutama generasi muda penerus bangsa. Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikannya, lalu siapa lagi.
Sumber: Dwi Cahyono, Malang Telusuri dengan Hati, hal 90-91
0 komentar:
Posting Komentar